Langkah-langkah Strategis
1. Mendirikan Sekolah-sekolah Sepak Bola yang Berkualitas
2. Mencari bibit unggul atlet sepak bola
3. Managment yang Optimal dan terarah
4. Membuat Media Motivator (Film-Film Motivasi)
Teladan:
Italian Football Academy
Arsenal Soccer School : youth football coaching by Arsenal FC
Sekolah Sepak Bola Garda Purwa
SSB Universitas Pendidkan Indonesia
Kalau ada olahraga yang bisa dibisniskan, maka tak ada yang lebih menguntungkan selain sepakbola. Tak cuma digemari mayoritas penghuni bumi, perputaran uang di dalamnya juga luar biasa. Sepakbola sejatinya memang pertandingan dua babak — babak pertama adalah permainan di lapangan untuk menggapai kemenangan, sedang babak kedua adalah kemampuan untuk bertahan di iklim bisnis yang kompetitif. Keberhasilan (atau kegagalan) di babak satu akan mempengaruhi kinerja di babak yang lain (success-makes-success effect).
Tak beda dengan perusahaan pada umumnya, sebuah klub sepakbola dibangun oleh:
aset berwujud (tangible assets),
aset keuangan (financial assets),
dan aset tak berwujud (intangible assets).
Klub sepakbola juga bersandar pada human assets (pemain dan manajer berkualitas),
market/relational assets (reputasi klub dalam menarik sponsor dan siaran televisi),
structural assets (bagaimana klub mengelola dan mempromosikan bisnisnya),
dan intelectual property (semisal registrasi merek dagang).
Tinjau sampel Manchester United. Menurut annual report dari London Stock Exchange tahun 2004, klub ini punya kapitalisasi pasar sebesar £721 juta, dengan intangible assets sebesar £156,8 juta dan intangible assets sebesar £564 juta. Tinjau sampel Southampton — dari liga yang sama dengan prestasi biasa-biasa saja. Klub ini hanya punya kapitalisasi pasar sebesar £11,9 juta, dengan tangible assets dan intangibles masing-masing £10,6 juta dan £1,4 juta. Rasio intangible assets terhadap kapitalisasi pasar Southampton cuma 11,39%, sementara United 78,25%.
Artinya, tangible assets merupakan faktor penting sukses tidaknya sebuah klub sepakbola. Dalam hal ini, pemain merupakan kunci pokok. Pemain bagus memperbesar probabilitas kemenangan, kemudian memikat basis penggemar dan sponsor yang kuat — inilah rationale pembelanjaan besar-besaran klub demi mendapatkan pemain berkualitas. Dan, menyebut nama-nama besar seperti Jose Mourinho atau Sir Alex Ferguson, juga menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar seorang manajer, melainkan strong intangibles yang memberi kontribusi besar bagi kesuksesan finansial klub.
Menurut Deloitte Football Monetary League Report, pendapatan United musim 2003/04 adalah £171,5 juta. Pendapatan keseluruhan dua puluh klub terbaik 2005 lebih dari £2 milyar. Tak cuma pendapatan tiket dan kompensasi atas kemenangan, klub mendapat pemasukan juga dari
penjualan memorabilia,
sponsor,
deal siaran televisi,
hingga catering dan kartu kredit.
United bahkan meng-outsource basis manufacturing mereka ke
Pakistan, China, Turki, dan Thailand untuk memangkas biaya.
Klub lain yang juga piawai memanfaatkan intangible assets adalah Real Madrid. Menurut sejarahnya, klub ini memiliki segalanya: uang, pemain dan pelatih berkualitas, dan segudang prestasi. Namun, sejak 2002 orietasi bisnis klub diubah. Vicente Del Bosque dan Fernando Hierro, yang memiliki kontribusi penting, ditendang. Alih-alih membina debutan, klub memilih membeli “produk jadi” yang memiliki payback period lebih cepat. Sebutlah Zinedine Zidane, Luis Figo, Ronaldo, Ruud van Nistelrooy, dan tentu saja, David Beckham.
Menurut FutureBrand, David Beckham yang dilego ke Madrid pada tahun 2003, memiliki “brand” senilai £60 juta. Pembelian ini, menurut Madrid yang saat itu ingin memperluas pasar ke Asia, adalah harga yang pantas. Apalagi, United waktu itu memang membutuhkan dana segar untuk memperbaiki balance sheet-nya. Beckham kemudian menjadi salah satu income stream Madrid yang ber-spirals upwards.
Terbukti, pada musim 2005/06, pendapatan Madrid menembus £190 juta sementara pendapatan United “hanya” £155 juta (Forbes).
Membuat berbagai commercial channels yang memberi financial returns maksimal kepada klub adalah hal penting. Klub-klub besar dengan intangibles tinggi terbukti memiliki surplus lebih besar dari klub rata-rata. Sponsorship misalnya. Klub-klub besar Eropa rata-rata memiliki 6 sponsor — kecuali Inter Milan yang membatasi diri dengan sponsor tunggal.
AC Milan punya 16 sponsor.
Liverpool menggandeng 6 sponsor.
Coca-cola, Adidas, Nike, Pepsi, Telefonica, Ladbrokes, masing-masing setidaknya menyokong dua klub.
Yang juga tak boleh dilupakan adalah brand. Dengan 53 juta penggemar di seluruh dunia, United misalnya, mati-matian melindungi merk dagangnya. United bekerja sama dengan badan hak cipta China dan pernah menutup enam pabrik pembuat produk United palsu.
Untuk melindungi pembajakan, United mengemas produknya dengan nomer digital yang berbeda dan sulit untuk direplikasi. Arsenal, di tahun 2001 juga pernah menuntut Matthew Reed yang menjual memorabilia berlabel Arsenal. Tahun 2002 masalah tersebut dibawa ke European Court of Justice dan trademark klub sepakbola menjadi kian diperhatikan.
Berkaca dari kompetisi di Eropa, kompetisi sepakbola di Indonesia sebenarnya sudah berjalan dengan relatif lancar. Namun dari segi bisnis dan aspek manajerial, masih banyak yang perlu diperhatikan.
Di Indonesia, mayoritas klub dimiliki Pemda dengan anggaran serba terbatas. Di satu sisi, tiap daerah ingin sepakbolanya maju; sementara di sisi lain ada pos-pos lain yang perlu diprioritaskan. Akibatnya, klub kemudian dikelola secara short-run untuk keuntungan jangka pendek — bukannya berorientasi jangka panjang yang berkesinambungan.
Akibatnya, turnover pemain dan pelatih tinggi dengan masa depan yang sulit dipastikan. Di lapangan, strategi dan komposisi permainan fakir form yang baku. Hampir setiap klub performanya labil. Tidak ada klub yang mendominasi dan juara diraih oleh klub yang selalu berbeda. Juara di musim ini bisa jadi terdegradasi di musim depan. Kompetisi liga pada akhirnya bukan menjadi tontonan yang menyenangkan — baik untuk penonton, media, sponsor, maupun pemilik klub.
Tanpa adanya upaya-upaya untuk berinvestasi pada tangible assets secara baik dan benar, bisnis sepakbola di Indonesia akan selalu jadi bisnis yang merugi dan menyedot anggaran. Padahal etnosentrisme basis fans yang kuat bisa menjadi pasar yang potensial. Dan kita mungkin punya produk lokal berkualitas seperti Boaz Sollosa atau Benny Dollo. Tapi tanpa ada manajemen yang baik, mereka hanya akan menjadi katak dalam tempurung.
Restrukturisasi kompetisi mutlak diperlukan. Penciptaan iklim bisnis persepakbolaan yang kondusif juga perlu dipikirkan. Agar sepakbola tak hanya menghibur penggemarnya — tetapi juga menjadi bisnis yang menguntungkan dan menggerakkan elemen masyarakat di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar