PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN
PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH YANG BERBASIS RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
Oleh :
Ir. Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng
I. Latar Belakang
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangungan di kawasan perdesaan. Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kawasan kesejahteraan masyarakat perdesaan malah berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986).
Kondisi tersebut diatas, ditunjukkan dengan tingginya laju urbanisasi. Data Survey Penduduk Antarsensus (SUPAS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995) menjadi 40,5% (tahun 1998). Proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak sektor pertanian ditandai dengan konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, dimana di pantai utara Jawa mencapai kurang lebih 20 %. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian.
Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta (Siswono Yudohusodo, 2002).
Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan perdesaan menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi urban bias. Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan. Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan agropolitan.
Meskipun demikian, pengembangan kawasan agropolitan sebagai bagian dari pengembangan wilayah nasional tidak bisa terlepas dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan matra spasial yang menjadi kesepakatan bersama. RTRWN penting untuk dijadikan alat untuk mengarahkan pengembangan kawasan agropolitan sehingga pengembangan ruang nasional yang terpadu dan sistematis dapat dilaksanakan. Sosialisasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan tentang hal ini mutlak diperlukan, sehingga muncul pemahaman bersama tentang pentingnya proses ini untuk mewujudkan pembangunan yang serasi, seimbang, dan terintegrasi.
II. Issue dan Permasalahan Pengembangan Kawasan Perdesaan.
1. Menurut UU No. 24/ 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa “Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu”. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan adanya penegasan terhadap “kedudukan” kawasan perdesaan yang berarti penegasan terhadap fungsi dan peran kawasan perdesaan. Selanjutnya, fungsi dan peran kawasan perdesaan ini seharusnya dijabarkan dalam rencana tata ruang wilayah yang akan menjadi acuan pengembangan kawasan perdesaan.
2. Selama ini ukuran keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari terciptanya laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi dimana alat yang dipergunakannya adalah dengan mendorong industrialisasi di kawasan-kawasan perkotaan. Kondisi ini bila ditinjau dari pemerataan pembangunan telah memunculkan kesenjangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan karena sektor strategis yang didoroing dalam proses industrialisasi hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat (Sonarno, 2003).
3. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah saat ini atau menjadi 400 juta jiwa, telah memunculkan kerisauan akan terjadinya keadaan “rawan pangan” di masa yang akan datang. Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat terjadi pula peningkatan konsumsi perkapita untuk berbagai jenis pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali lipat jumlah kebutuhan saat ini (Siswono Yudohusodo, 2002).
4. Lemahnya dukungan makro ekonomi terhadap pengembangan produk pertanian dapat menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan agropolitan. Perlu adanya perlindungan yang serius terhadap kegiatan pertanian melalui stabilisasi harga produk pertanian pada level yang wajar. Lemahnya dukungan kebijakan fiskal dan moneter seperti bebas masuknya produk pertanian impor dengan harga murah dan mahalnya suku bunga kredit pertanian merupakan faktor-faktor yang dapat menghambat pengembangan perdesaan. Pada akhirnya, kondisi ini menjadi disinsentif terhadap usaha pertanian.
5. Pada tingkat mikro, masih rendahnya produktifitas dan pemasaran, pertanian, kelembagaan yang tidak kondusif, dan lingkungan permukiman yang masih rendah merupakan permasalahan-permasalahan yang seringkali menjadi hambatan dalam pengembangan perdesaan.
6. Kondisi budaya petani lokal yang cenderung subsisten perlu mendapatkan perhatian yang serius apabila ingin merubah budaya tersebut menjadi budaya agribisnis. Tanpa adanya peningkatan pemahaman dan kemampuan petani, akan sulit meningkatkan produktifitas pertanian untuk mendukung pengembangan agroindustri.
Berdasarkan issue dan permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi, pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah (perdesaan). Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membetuk Kawasan Agropolitan.
Disamping itu, Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (lihat gambar 1).
Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan agropolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan.
Disamping itu, pentingnya pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia diindikasikan oleh ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja yang murah, telah terbentuknya kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) di sebagian besar petani, jaringan (network) terhadap sektor hulu dan hilir yang sudah terjadi, dan kesiapan pranata (institusi). Kondisi ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) Indonesia dibandingkan dengan negara lain karena kondisi ini sangat sulit untuk ditiru (coping) (Porter, 1998). Lebih jauh lagi, mengingat pengembangan kawasan agropolitan ini menggunakan potensi lokal, maka konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial local (local social culture).
(Bersambung)
Membangun
Visi Pengembangan Ternak Sapi 1.000.000 Ekor
di Daerah Greater East Periangan Area
1. Pemetaan Wilayah Potensi Ternak Sapi
2. Perancangan kegiatan Usaha Ternak Sapi
3. Perancangan Kawasan Ternak Sapi Terpadu
4. Pengolahan Hasil Ternak
Ucapan Terima Kasih Kepada:
Dr. Ir. Soenarno, Dipl.HE.
Mantan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil)
1. Fakultas Tehnik Sipil Universitas Gajah Mada Yogyakarta.September 1962
2. IHE Delft (Sp.I) International Institute for Hydraulic and Environmental Engineering Delft, The Netherlands September 1977
3. Doctorate Degree Program in Civil Engineering Columbia Pacific University, San Rafael, California, USA Nopember 1982
to all my friend
Kepala Divisi Agropolitan Project:
Achmad Yozar P.
Kepala Divisi Agropolitan Project:
Achmad Yozar P.
1. Riki (Civil Engineering, Universitas Indonesia)
2. Widia P. M. (Civil Engineering, UNIGA)
3. Erwin P. L. (Civil Engineering, UNIGAL)
4. Fadly F. (Civil Engineering, UMY)
5. Gilang G. N. K. (Civil Engineering. WIDIATAMA)
6. Deni Nugraha (Kota Banjar)
7. Ismail M. S (Pertanian UNSOED)
Referensi:
1. Douglas, Michael, Regional Networks Development, UNHCS-Bappenas, 1986
2. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Profil Kawasan DPP dan Agropolitan, 2002.
3. Direktorat Jenderal Perkotaan dan Perdesaan, Bantuan teknik Penyusunan Rencana Teknis dan DED 7 kawasan di 7 Propinsi, 2002
4. Porter, Michael, The Competitive Advantage of Nations, Cambridge, 1998.
5. Soenarno, Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah, 2003.
6. UU NO 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), 1992.
7. Yudhohusodo, Siswono, Laporan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, 2002
1. Douglas, Michael, Regional Networks Development, UNHCS-Bappenas, 1986
2. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Profil Kawasan DPP dan Agropolitan, 2002.
3. Direktorat Jenderal Perkotaan dan Perdesaan, Bantuan teknik Penyusunan Rencana Teknis dan DED 7 kawasan di 7 Propinsi, 2002
4. Porter, Michael, The Competitive Advantage of Nations, Cambridge, 1998.
5. Soenarno, Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah, 2003.
6. UU NO 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), 1992.
7. Yudhohusodo, Siswono, Laporan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, 2002
Semoga bermanfaat dan Terima Kasih